-->

Sabtu, 08 November 2014

Ryan Filbert @RyanFilbert 

 KOMPAS.com — Setidaknya dalam tiga hari terakhir ini, timeline Facebook saya diramaikan oleh pembicaraan mengenai seorang pekerja sederhana asal Vietnam yang harus berlutut agar uangnya dikembalikan setelah berbelanja iPhone 6 di pusat perbelanjaan Sim Lim Square Singapura.

Berita ini membuat saya teringat akan sebuah kejadian yang saya alami tiga tahun lalu, ketika pergi ke Singapura untuk menghabiskan bulan madu bersama istri.

Dua hari sebelum liburan kami berakhir, setelah makan malam di Orchard Road, saya dan istri saya pergi melihat-lihat pusat perbelanjaan yang bernama Lucky Plaza. Tidak lama kemudian, tampaknya istri saya tertarik untuk membeli Blackberry Torch, yang baru keluar di Jakarta. Harga Blackberry itu cukup murah, 585 dollar Singapura.

Toko tempat kami melakukan transaksi bernama "G3 Advance Trading". Sambil menunggu ponsel tersebut dicek dan aktivasi, saya melihat-lihat sekeliling serta tidak terlalu memperhatikan transaksi yang dilakukan oleh istri saya. Tentunya tanpa praduga apa pun.

Pemilik toko lalu meminta SIM card dan paspor untuk aktivasi dan garansi. Tanpa rasa curiga, istri saya memberikan keduanya. Setelah itu, kami menunggu beberapa saat sebelum ponsel tersebut kembali dibawa di hadapan kami untuk dites.

Di sinilah mulai terjadi hal menarik. Mereka mengeluarkan sebuah kertas berisi checklist yang tidak terlalu jelas, dan di sana tertulis apa saja yang mereka lakukan, harga ponsel, aktivasi SIM card, garansi, dan informasi tambahan aksesori berupa sebuah leather case flip.

Mereka menyarankan kami untuk membayar dengan uang tunai. Karena kebetulan saat itu saya dan istri saya tidak membawa uang tunai, akhirnya kami pun menggunakan kartu kredit istri saya sebagai moda pembayaran, yang dikenakan charge sebesar 3 persen. Saat itu, toko-toko sudah mulai banyak yang tutup karena jam telah menunjukkan pukul 20.30 sehingga ada perasaan untuk segera pulang karena merasa kasihan dengan pemilik toko.

Ternyata, kartu kredit istri saya ditolak. Dengan sedikit bingung, akhirnya saya berikan kartu kredit yang saya miliki. Tidak berapa lama kemudian, slipnya keluar. Sembari staf lainnya mulai membereskan toko, saya mengambil slip kartu kredit tersebut. Ketika akan menandatanganinya, saya melihat angka 620 dollar Singapura, yang dapat saya pahami dengan hitungan sederhana, yaitu harga ponsel ditambah charge sebesar 3 persen yang dikenakan.

Namun, belum selesai saya menandatangani, saya melihat keganjilan di depan angka "6", yaitu cukup jauh di depannya, terdapat angka "1", sehingga penulisannya menjadi seperti ini: "1    620", dan di sinilah praktik pemerasan mulai terjadi.

Meski saya belum selesai menandatanganinya, slip transaksi itu langsung diambil oleh pemilik toko, dan ketika ditanyakan, keluarlah angka sakti bahwa transaksi yang baru saja terjadi bernilai 1.620 dollar Singapura! Ternyata untuk melihat berapa besar nilai aslinya, kertas yang sudah saya tanda tangani sebelumnya perlu diterawang ke lampu agar tulisannya menjadi jelas.

Lalu, dimulailah perdebatan sengit antara saya dan istri dengan si pemilik toko. Meski Lucky Plaza telah mematikan lampu koridornya, saat itu beberapa kali telepon saya berdering menunjukkan nomor yang tidak dikenal, tetapi ini saya acuhkan. Pemilik toko juga sempat berdalih bahwa nilai tersebut sudah termasuk refund GST senilai 7 persen (Baca: Belanja di Singapura, Pajak Bisa Dikembalikan).

Sebuah transaksi fantastis yang tidak masuk akal tampaknya sedang terjadi saat itu, dan di situlah kami merasa ditipu oleh pedagang ponsel di Singapura.

Opsi yang diberikan oleh pemilik toko "cerdas" tersebut adalah membatalkan transaksi, yang dalam hal ini, kami akan diberikan refund sebesar 497 dollar Singapura tanpa membawa pulang Blackberry yang sudah dibeli. Siapa yang akan menyetujui transaksi bodoh seperti itu bahwa Anda kehilangan 1.000 dollar Singapura dan tidak membawa pulang barang apa pun?

Meskipun istri saya ngotot untuk berdebat, saya berpikir lain. Saya mengambil Blackberry tersebut untuk dibawa pulang, dan saya mendesak untuk diberikan kuitansi serta slip kartu kredit. Namun, sampai di sini, mulailah terjadi intimidasi karena paspor saya masih ditahan oleh pemilik toko "G3 Advance Trading" tersebut.

Apa yang terjadi setelah itu? Mereka tidak memberikan slip apa pun, dan kami pulang membawa ponsel tersebut. Pemikiran saya saat itu adalah, yang penting paspor sudah kembali ke tangan karena, tanpa identitas di negara orang, posisi kami menjadi jauh lebih lemah. Di sinilah "perang" sesungguhnya mulai terjadi antara saya dan pemilik toko yang bernama Mr Kalvin.

Langkah awal yang saya lakukan adalah memblokir kartu kredit. Sambil jalan pulang menuju hotel tempat kami menginap, saya menghubungi pihak penerbit kartu kredit di Jakarta, dan terblokirlah kartu saya.

Keesokan harinya, saya pergi lagi ke Orchard Road, dan mengunjungi Singapore Tourism Board (STB). Di sana, saya mengadukan keluhan kami. Sebagai informasi, kepolisian Singapura hanya akan berurusan dengan Anda bila terjadi baku hantam. Mereka tidak melayani urusan yang berhubungan dengan transaksi jual beli.

Ketika laporan telah selesai dibuat, mulai saat itu dan seterusnya, saya berhubungan dengan STB melalui e-mail. STB adalah salah satu wadah pelaporan atau pencarian informasi untuk turis yang ada di Singapura.

Sepulangnya ke Indonesia, saya pun segera melakukan pengecekan ke bank penerbit kartu kredit mengenai transaksi G3 Advance Trading, serta mengajukan keluhan atas sanggahan transaksi yang saya masukkan dalam kategori penipuan dan pemaksaan. Jadi dengan itu, saya mengajukan klaim dari dua sisi, yaitu melalui STB dan bank penerbit kartu kredit.

Selama di Indonesia, negosiasi antara saya dan STB sebagai wakil saya di Singapura terus berlangsung via e-mail. Mereka (G3 Advance Trading) sempat memberikan opsi refund dengan nominal yang lebih besar. Artinya, saya kirim ponsel ke Singapura, dan saya akan menerima kenyataan bahwa uang saya berkurang, meski tidak melakukan kesalahan apa pun. Saya jelas menolaknya.

Saya lalu mengajukan diri untuk masuk ke jalur pengadilan di Singapura dengan menunjuk STB sebagai wakil saya, dan membayar biaya tuntutan sebesar 10 dollar Singapura.

Saya pun tidak tinggal diam di Indonesia. Saya pergi ke STB Indonesia yang berada di Gedung Mayapada, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat. Saya juga mendatangi Kedutaan Singapura, dan diterima secara acuh tak acuh karena kedutaan merasa bahwa hal tersebut hanya dapat diselesaikan melalui STB.

Mereka memperlakukan saya seperti seorang warga Indonesia yang "rewel" mengenai masalah sederhana, dan menurut saya ini sangatlah lucu karena bila Anda mengecek di mesin pencari, Anda akan menemukan bahwa toko dengan nama "G3 Advance Trading" telah beroperasi semenjak tahun 2009, dan telah menipu cukup banyak orang dari negara lain, bahkan Afrika!

Menurut saya, ini sama saja seperti Singapura memelihara penipu dalam satu kandang, meskipun memang ternyata toko elektronik seperti di Lucky Plaza dan Sim Lim Plaza tidak dibubuhi tanda yang menunjukkan apakah toko tersebut tersertifikasi atau tidak.

Namun tetap saja, saya pikir itu adalah sebuah tindakan preventif bodoh. Bila memang berniat untuk melakukan tindakan preventif dan melindungi turis, sebaiknya mereka memberikan panduan jelas yang menunjukkan tempat-tempat yang harus diperhatikan bila akan melakukan transaksi.

Sesama orang Jakarta lainnya, saya mengetahui dengan pasti tempat-tempat yang memiliki potensi risiko pencurian, penodongan, pencopetan, tetapi tidak begitu dengan turis! Tentu sungguh kasihan, turis yang terjebak dalam kondisi merugikan, seperti yang saya alami. Bukankah devisa negara juga bergantung pada pendapatan pariwisata? Hal ini juga bisa menjadi pertimbangan bagi negara Indonesia dalam memelihara keamanan bagi turis luar negeri yang melancong di negara Indonesia tercinta.

Akhirnya, pengadilan Singapura memenangkan perkara saya, dan menuntut toko tersebut untuk mengembalikan uang saya beserta biaya tuntutan sebesar 100 dollar Singapura. Tampaknya, masalah ini memang sudah selesai. Akan tetapi, dalam praktiknya, proses ini memakan waktu selama hampir sembilan bulan, dan dalam pengembaliannya, beberapa kali pihak toko tampak "membodohi" STB Singapura perihal pengembalian uang.

Saya juga hampir melakukan proses WSS (writ of seizure and sale), sebuah proses penyitaan aset sesuai dengan yang saya inginkan kepada toko tersebut, dengan membayar 405 dollar Singapura untuk biaya meterai dan biaya juru sita (small claims tribunal).

Akhir cerita, pengembalian uang pun terjadi, dan saya tidak jadi mengajukan WSS untuk kasus ini. Namun, izinkanlah saya memberikan beberapa tips untuk berbelanja di negara orang, khususnya bila Anda berurusan dengan nominal yang cukup besar:

1.    Gunakanlah kartu kredit

Benar, Anda mungkin akan dikenakan charge sebesar 3 persen, tetapi hal tersebut mengamankan Anda karena biasanya bank penerbit kartu akan langsung menelepon Anda jika ada transaksi dengan nominal yang cukup besar atau berasal dari luar negeri. Ingat, telepon yang berdering di saku saya ketika saya sedang berdebat dengan pemilik toko? Ya, itu adalah pihak bank dari Indonesia yang berusaha menghubungi saya, tetapi transaksi diteruskan karena saya tidak mengangkat telepon saya.

Keuntungan lainnya adalah, dengan kartu kredit, ada pengamanan kedua karena Anda bisa melakukan dispute atau menyanggah transaksi bila transaksi tersebut membuat Anda dirugikan.

2.    Gunakanlah mesin pencari

Apabila Anda ingin berbelanja di suatu tempat, mesin pencari mungkin dapat membantu Anda meminimalkan masalah. Dengan terbukanya era internet yang begitu luas, gunakan kata kunci yang mengarah ke hal negatif, misalnya "G3 Advance Trading Scam" atau "G3 Advance Trading Cheat".

3.    Too good to be true

Berhati-hatilah terhadap harga barang yang terlalu murah. Setidaknya, menurut saya secara pribadi, transaksi ponsel di Singapura bisa masuk ke dalam kategori barang black market saat barang tersebut masuk ke Indonesia. Jadi, carilah pembanding.

Sama halnya ketika Anda berbelanja gadget di Hongkong, carilah perbedaan antara barang bergaransi lokal dan bergaransi internasional.

4.    Teliti dan jangan sendiri

Tanyakanlah mengenai apa yang Anda beli dengan mengacu pada 5W1H (what, where, when, who, why, and how)

-    Mengapa harganya cukup murah dibandingkan tempat lain?
-    Selain yang sudah dijelaskan, biaya apa lagi yang harus dibayar?
-    Di mana saya bisa melakukan klaim bila terjadi kerusakan?
-    Berapa lama garansi yang diberikan untuk barang tersebut?
-    Apa saja yang termasuk dalam garansi?
-    Apa syarat yang diperlukan untuk mendapatkan barang tersebut?
-    Apakah unit tersebut dapat dipakai secara internasional?
-    Berapa lama proses aktivasi?

Pedagang yang terlalu bermulut manis dan ramah secara psikologis ingin membuat Anda merasa lebih nyaman, dan waspadalah terhadap setiap hal yang harus Anda lakukan.

Bila Anda ingin mengklaim masalah Anda di Singapura terkait hal apa pun, Singapore Tourism Board akan membantu Anda, dan inilah kontaknya: STB_Indonesia@stb.gov.sg dan feedback@stb.gov.sg

Bila pihak Singapura membaca artikel ini, saya mengimbau Anda untuk menindak tegas dan membuat sebuah aturan jelas karena, berdasarkan pantauan saya, toko G3 Advance Trading sudah berkali-kali mengganti namanya untuk tetap menjalankan modus penipuan kepada pembelinya.

Bagaimana bisa seseorang terus-menerus berbisnis seperti itu tanpa terjamah hukum? Bukankah menurut informasi yang beredar, Singapura adalah negara teraman di dunia? Maaf, ini bukan sebuah artikel black campaign, melainkan karena saya kembali terpanggil dan turut prihatin dengan kejadian seorang pekerja Vietnam yang harus berlutut dan mengemis agar uangnya kembali.

Rupanya, dari beberapa kali saya bercerita, hampir semua orang yang pernah ke Singapura setidaknya pernah mengalami masalah ketika berbelanja di dua lokasi yang telah saya sebutkan sebelumnya. Artinya, bisnis tersebut sudah sangat membudaya.

Berhati-hatilah setiap saat, dan jadilah seseorang yang waspada, meskipun Anda sedang berlibur.

Salam investasi untuk Indonesia.


* Ryan Filbert merupakan praktisi dan inspirator investasi Indonesia. Berusia 28 tahun, Ryan memulai petualangan dalam investasi dan keuangan semenjak usia 18 tahun. Aneka instrumen dan produk investasi dijalani dan dipraktikkan, mulai dari deposito, obligasi, reksadana, saham, options, ETF, CFD, forex, bisnis, hingga properti. Semenjak 2012, Ryan mulai menuliskan perjalanan dan pengetahuan praktisnya. Buku-buku yang telah ditulis antara lain Investasi Saham ala Swing Trader Dunia, Menjadi Kaya dan Terencana dengan Reksa Dana, Negative Investment: Kiat Menghindari Kejahatan dalam Dunia Investasi, serta Hidden Profit from The Stock Market. Pada bulan Oktober, Ryan Filbert menerbitkan dua seri buku baru mengenai trading saham berjudul Bandarmology dan Investasi pada Properti "Rich Investor from Growth Property".

Artikel Yang Berhubungan



0 komentar:

Posting Komentar

By :
Free Blog Templates