Selasa, 08 Maret 2011
VIVAnews - Harga minyak mentah dunia terus melambung melampaui US$100 barel per hari. Pemerintah pun was-was, karena bila harga terus melambung, anggaran subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa jebol. Apalagi rencana pemerintah membatasi konsumsi bensin jenis premium tak kunjung diputuskan.
Bahkan kemarin, rata-rata harga minyak Indonesia (ICP) sepanjang Februari telah mencapai US$103,31 per barel. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan target APBN sebesar US$80 per barel.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, Senin kemarin mengatakan, pemerintah akan memperhatikan gejolak harga minyak dunia. Termasuk tidak menutup kemungkinan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. "Pemerintah dimungkinkan melakukan perubahan," kata Menko Perekonomian.
Tim Pengkaji Pengaturan BBM Bersubsidi juga memberikan opsi menaikkan harga BBM sebesar Rp500 per liter. "Ini salah satu opsi," kata Ketua Tim Pengkaji Anggito Abimanyu di Jakarta, Senin kemarin.
Namun, Anggito mengatakan, kenaikan harga ini dikecualikan bagi angkutan umum. Angkutan diberi uang pengembalian, sehingga secara riil harga premium untuk angkutan umum tidak naik.
Pengamat kebijakan minyak Kurtubi mendukung pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Menurut Kurtubi, anggaran subsidi BBM tak bakal mampu menahan tingginya harga minyak saat ini.
Lalu seberapa harga BBM yang pantas? Kurtubi mengatakan, pemerintah bisa menaikkan harga BBM sebesar Rp1.000 menjadi Rp5.500 per liter untuk solar dan premium. Harga ini tepat, selain tak begitu memberatkan rakyat, penghematan yang diperoleh pemerintah lumayan signifikan, yaitu Rp22 triliun.
"Semua rakyat tahu, harga minyak naik tinggi. Tinggal pemerintah berani mengambil keputusan atau tidak," kata dia saat dihubungi VIVAnews.com, Selasa 8 Maret 2011.
"Agar tak ditentang rakyat, pemerintah bisa menjelaskan alokasi penghematan subsidi itu, seperti untuk memperbaiki jalan atau yang lain."
Kurtubi yang juga Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies mengatakan bahwa langkah ini lebih realistis daripada membatasi konsumsi premium bagi kendaraan pelat hitam. Bila pembatasan tetap dilaksakanakan, kegiatan ekonomi masyarakat akan terganggu. "Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi juga tak lancar," ujar Kurtubi.
Masalah lain yang akan timbul adalah keributan di stasiun pengisian bahan bakar umum. Bila permintaan tinggi, sementara pasokan dibatasi akan menimbulkan antrean panjang. Akhirnya, pasar gelap dan penggelembungan harga pun terjadi.
Pengamat energi yang juga Direktur ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, bila ingin mengurangi subsidi BBM, langkah menaikkan harga paling tepat. Hitungan ReforMiner, setiap kenaikan Rp200 per liter, akan mengurangi subsidi Rp7,5 triliun per tahun.
Sementara itu, penghematan larangan premium bagi kendaraan pribadi hanya mengurangi volume premium 11,7 juta kilo liter per tahun, atau kurang lebih bisa menghemat anggaran subsidi Rp17,6 triliun. Tentunya, bila opsi ini diterapkan di seluruh Nusantara. Jika cuma di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, penghematan hanya 500 kilo liter atau sekitar Rp750 miliar.
"Konsumen premium juga lebih nyaman dengam kenaikan Rp1.000 daripada harus beralih ke pertamax yang harganya Rp8.100," ujarnya.
0 komentar:
Posting Komentar