-->

Senin, 02 Agustus 2010

Menguatkan Ikatan Dengan Makan Patita

Jakarta -- Minggu (1/8) pagi, lebih dari 200 meja dengan hamparan daun pisang pada permukaannya telah tersusun di sepanjang Kapitan Ulupaha, Kota Ambon, Provinsi Maluku.

Pada pukul 09.00 WIT, kelompok ibu-ibu dengan bungkusan dan panci-panci berisi makanan mulai datang ke tempat itu dan bergegas menata aneka jenis makanan yang mereka bawa di meja.

Mereka umumnya mengenakan sarung dengan paduan kebaya Ambon atau baju tradisional serupa tunik dari bahan kain sarung motif kotak-kotak merah dan putih.

Di antara mereka ada Mama Ona Sopacua (72) dan kawan-kawannya dari Desa Hunut yang antara lain membawa pisang rebus, kasbi (singkong), sayur daun kasbi, dan sejumlah masakan dari ikan yang disajikan dalam piring-piring berhias.

Ada juga nenek Silopis (77) dan kawan-kawannya dari Desa Seilale serta Elizabeth de Fretes (62) dan saudara-saudaranya yang membawa singkong, pisang rebus, sagu, tumis ikan batu-batu, tumis jantung pisang dan daun pepaya serta kohu-kohu (campuran ikan suwir, kacang panjang potong kecil, taoge, kepala parut dan bumbu).

Sementara mereka sibuk menata makanan, orang-orang yang ingin menikmati aneka jenis makanan yang disajikan dalam acara makan patita atau makan bersama nasional mulai datang, sebagian berkeliling menyaksikan para ibu bekerja, sebagian duduk-duduk saja di emper jalan.

Pada siang hari hampir semua makanan sudah tersaji di meja, ada ubi, singkong, ketupat, keladi, sagu, pisang rebus, aneka jenis sayur serta ratusan piring, mangkuk dan wadah berisi macam-macam hidangan berbahan dasar ikan.

Menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku Syuryadi Sabirin yang dalam hal ini menjadi ketua panitia penyelenggara, sebanyak 2.010 jenis masakan berbahan dasar ikan dari 53 desa/kelurahan yang ada di Ambon dan Tual disajikan dalam acara makan bersama nasional itu.

Orang-orang yang berkerumun di sepanjang jalan lokasi makan patita makin padat lepas waktu shalat dzuhur, mereka menunggu acara makan bersama dimulai untuk menikmati aneka makanan yang tersaji sambil duduk, berdiri, atau berjalan-jalan mengelilingi meja.

Acara makan itu baru dimulai setelah Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono dan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad membuka acara sekitar pukul 14.30 siang.

Kedua menteri mencicipi makanan yang disajikan dalam meja-meja panjang tersebut, diikuti ratusan orang yang memadati tempat itu.

Dalam waktu kurang dari satu jam seluruh makanan yang tersaji habis, ibu-ibu pulang ke kampung mereka membawa wadah-wadah makanan yang telah kosong.

Tradisi

Menurut Silopis, yang saat ini memiliki enam cucu dari kedua anaknya, makan patita merupakan tradisi lama masyarakat Maluku untuk berkumpul dan saling berbagi.

"Sejak jaman datuk-datuk dulu sudah ada. Setiap ada acara, mau acara kampung atau gereja, kita pasti makan patita," katanya.

Oma Sopacua menambahkan, makan patita antara lain dilakukan saat Raja atau kepala desa mengakhiri jabatannya serta saat perlombaan olah raga atau tari.

"Makanannya hampir sama, makanan khas Maluku, hasil bumi seperti singkong, sagu, pisang dan ubi, juga masakan ikan," kata ibu dari 10 anak yang kini memiliki 30 cucu itu.

Namun, menurut Liz de Fretes, makan patita di kampung biasanya dilakukan dengan duduk lesehan, dekat makanan ditaruh pada dedaunan yang dihamparkan di lantai.

"Biasa di bawah dengan alas daun kelapa dan daun pisang," kata Liz yang siang itu mengenakan kebaya Ambon putih bermotif bunga-bunga kecil merah.

Syuryadi menjelaskan makan patita tidak hanya dilakukan warga dalam satu kampung saja tapi kadang juga dilakukan masyarakat beberapa kampung.

"Acara ini biasanya diprakarsai oleh raja atau masyarakat sendiri untuk berbagai alasan, dari sekedar kangen-kangenan sampai untuk memulihkan hubungan," katanya.

Menurut dia acara makan patita selama ini menjadi semacam perekat silaturahim bagi persaudaraan orang-orang Maluku yang terdiri atas banyak suku dan adat budaya.

"Di sini ada banyak sekali suku dan budaya. Agama juga berbeda. Orang-orang dalam satu marga saja bisa beda agama. Ini menjadi salah satu perekat orang-orang bersaudara," katanya.

Orang Padang yang sudah 20 tahun menetap di Ambon itu mengatakan biasanya acara makan patita dilakukan dengan biaya swadaya masyarakat.

"Mereka taruh makanan untuk makan patita. Kadang ditambah dengan dana kas desa," katanya.

Ia menambahkan hampir semua makanan yang tersaji dalam acara makan patita nasional kali ini juga disediakan oleh masyarakat desa, panitia hanya memberikan dana sekedarnya untuk membeli bumbu.

Dia berharap acara makan patita nasional yang kali ini diselenggarakan dalam rangka "Sail Banda 2010" dapat menguatkan ikatan persaudaraan dan kebersamaan dari orang-orang yang menikmatinya.



Sumber
(ANTARA)

Artikel Yang Berhubungan



0 komentar:

Posting Komentar

By :
Free Blog Templates